All posts by admin

Akulah Pintunya

George Adam Smith, seorang ahli Alkitab, pada abad ke-19 berkunjung ke Israel. Suatu hari dia bercakap-cakap dengan seorang penggembala. George bertanya, jika malam tiba, kemanakah domba-domba itu digiring. Gembala itu menunjukkan sebuah ceruk dengan yang dikelilingi empat dinding alami dan satu lubang keluar-masuk.

“Apakah aman? Bukankah tidak ada pintu penutupnya?” tanya George.

“Sayalah pintunya,” kata gembala. Gembala itu bukan orang Kristen. Dia tidak mengutip ayat Perjanjian baru., namun dia berbicara berdasarkan sudut pandang budaya Timur Tengah saat itu.

“Apa maksudnya?” tanya George. “Bila malam menjelang, saya memasukkan semua domba ke ceruk itu. Saya lalu berbaring di depan lubang itu sehingga tidak ada domba atau serigala yang bisa keluar atau masuk tanpa melewati tubuh saya. Sayalah pintunya,” jelas gembala.

Kita adalah domba milik Yesus. Domba adalah makhluk yang lemah. Ketika dihadang oleh serigala, bukannya lari, dia malah hanya berdiri termangu. Maka jadilah dia santapan yang empuk.

“Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput. ” – (Yohanes 10:9)

Puji syukur, kita memiliki Gembala Agung. Gembala itu berani dan rela mempertaruhkan nyawa demi menjaga keselamatan kita. Tidak hanya soal keamanan saja. Gembala itu juga memikirkan kesejahteraan domba-domba-Nya. Dia membaringkan kita di “padang yang berumput hijau.” Ia membimbing kita “ke air yang tenang.” (Mazmur 23:2) Jika ada domba yang sakit, Dia akan menggendong dan merawatnya hingga pulih kembali.

Tugas domba hanya sederhana, yaitu mengikut tuntunan dan perintah Gembala dengan patuh dan setia

 

Purnawan Kristanto

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis.

Laman asli tulisan ini lihat di: http://renungan.purnawan.web.id/?p=775

Penulis adalah writer | trainer | humanitarian volunteer | video & photo hobyist | jazz & classic lover | husband of priest | father of two daughters |

Foto: Pixabay

Meneladani Desmond Doss

Hari-hari ini sangat mudah sekali orang teledor menjaga lidahnya sehingga dari bibirnya mengalir kata-kata yang meresahkan dan membuat yang mendengarnya ingin jauh-jauh saja dari orang itu.

Ada pula yang merasa lebih kuat karena sering berlatih angkat beban, kesenangannya merendahkan dan meremehkan orang lain yang dilihatnya lemah. Lalu yang sudah lebih dahulu punya pengalaman, merasa diri lebih unggul dari sesamanya.

Keakuan membuat manusia selalu ingin diakui sebagai yang TER (terpandai, terkuat, terdepan, tertinggi dan ter, ter lainnya). Sifat ini sudah ada dari jaman bumi baru didiami pasangan Adam dan Hawa, kekal diwariskan kepada anak cucunya, KITA yang hidup di dunia saat ini.

Perkara di atas melenggang begitu saja di pikiran sewaktu duduk di dalam teater menikmati Hacksaw Ridge dua petang kemarin. Hacksaw Ridge, film drama perang yang digarap berdasarkan kisah veteran paramedik Amerika semasa perang dunia kedua (PD II), Desmond T. Doss pada pertempuran Okinawa, Jepang.

Doss adalah anak pertama dari pasangan Thomas dan Bertha Doss, mereka tinggal di Lynchburg, Virginia, Amerika Serikat. Ia memutuskan ikut wajib militer karena terpanggil untuk mengabdikan diri bagi negaranya yang sedang berperang menyusul adiknya, Harold Doss yang sudah terlebih dahulu bergabung.

Sebagai pemeluk Advent Hari Ketujuh yang taat, Doss tak ingin menyakiti sesama meski di situasi perang, pantang baginya memegang senjata. Karenanya ia mengajukan diri menjadi tenaga medis.

Masalah mulai muncul ketika Doss mengikuti pelatihan militer di Fort Jackson. Doss menjadi bulan-bulanan pimpinan dan rekannya, bahkan menjadi sasaran kekerasan demi memancing emosinya.

Namun, Doss adalah Doss yang bersikukuh untuk tidak membalaskan setiap perlakuan buruk yang diterimanya. Ia tetap bisa menahan diri, tak mau melaporkan siapa yang melukainya dan bersabar menjalani hari-hari di kamp.

Dipandang akan membahayakan rekan satu tim bila kelak mereka maju ke medan perang, Doss pun diminta untuk tidak meneruskan pendidikan dan mengundurkan diri saja. Tapi ia tak mau, ia rela maju ke pengadilan militer karena sejak awal mendaftar pendidikan dengan satu syarat TIDAK ingin mengangkat senjata. Doss akhirnya menang, ia diizinkan meneruskan pendidikan untuk paramedis.

Saat melepas kekasihnya ke kamp Fort Jackson, Dorothy Schutte memberikan sebuah Alkitab saku yang selalu dibawa Doss. Bacaan yang menjadi pegangan dan membuat Doss sering dicerca rekan-rekannya. Hacksaw Ridge sendiri dibuka dengan penggalan firman dari Yesaya 40:28 – 31, membuat ingin menyanyikan “Like Eagle”-nya Don Moen.

Serupa dengan Braveheart dan Apocalypso, Hacksaw Ridge digarap dengan sangat baik oleh Mel Gibson. Hacksaw Ridge bukanlah film perang biasa, ia sarat dengan pesan moral.

Film yang membuat saya betah menikmatinya hingga hanya tulisan-tulisan putih yang berlarian di layar bahkan hingga petugas kebersihan hampir selesai membersihkan ruang untuk pertunjukan selanjutnya. Demi apa? Demi menemukan tulisan lokasi kuburan yang muncul beberapa kali di layar! #eeh

Sejarah mencatat, pertempuran Okinawa adalah salah satu pertempuran hebat semasa Perang Pasifik. Panggilan jiwanya untuk menolong sesama, membuat Doss memutuskan tinggal di atas bukit meski dirinya memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri sendiri.

Selama 12 jam ia berlari dan menarik tubuh – tubuh yang terluka, memberi pertolongan pertama lalu menurunkan mereka ke lembah dengan seutas tambang, sendirian!

tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah – [Yes 40:31]

Apa yang membuat seorang Doss yang kerempeng dan membuat seorang kawan selepas menonton Hacksaw Ridge berpikir, mustahil banget Doss melakukan itu, mengangkat badan orang yang sebagian besar lebih besar dan kekar dari badannya?

Mari menelahnya dari karakter yang ditampilkan tanpa basa-basi dalam keseharian seorang Doss karena iman yang diyakininya. Saya mencatat ada 5 (lima) karakter laskar Kristus yang perlu diteladani dari Doss:

Hidup Menurut Firman TUHAN
Doss meyakini firman yang tertulis dalam Alkitab dan percaya TUHAN tidak menghendaki dirinya untuk melukai apalagi membunuh sesama. Ia ingat peristiwa di masa kecil ketika adiknya tak bergerak karena hantaman batu dari tangannya, Doss kecil mematung di depan hiasan yang tergantung di balik pintu dan matanya terpaku pada hukum ketujuh dari Hukum Taurat, Jangan Membunuh!

I don’t know how I can live with myself if I don’t say true to what I believe – Desmond Doss

Alasan yang sama membuatnya tidak menarik pelatuk pistol yang direnggut dari tangan ayahnya ketika pada satu malam, untuk kesekian kalinya ayahnya berlaku kasar dan mengancam untuk membunuh ibunya. Kamu tahu pembunuh paling ditakuti saat ini? Ketika karakter yang baik dalam diri kamu dimatikan!

Bertumbuh dalam KASIH, Tidak Dendam
Sejak kecil Doss dan adiknya melihat kekasaran ayahnya yang sering melampiaskan amarah pada ibu mereka. Satu malam dia bertanya pada ibunya, kenapa sang ayah membenci mereka? Meski sering diperlakukan kasar, sang ibu dengan bijak berkata,”He doesn’t hate us. He hates himself, sometime.” Sang ibu tak ingin bibit kebencian tumbuh dalam diri anak terhadap ayah mereka yang pemarah dan kasar.

Hal yang sama terjadi ketika Doss dipukuli oleh rekan-rekannya hingga babak belur sewaktu dirinya tidur, dia tak sedikit pun membenci atau berniat untuk membalaskan lukanya.

Berani Tampil Beda (Melangkah dengan Iman)
Doss merasa tak ada yang salah dengan apa yang diyakininya. Apa yang dia lakukan pun tak merugikan orang lain, tapi bagi orang di sekelilingnya Doss adalah orang yang bermasalah. Doss rela dimasukkan ke dalam sel, yang membuat dirinya sendiri mengalami perang bathin terlebih karena hari dirinya disel adalah hari pernikahannya. Ia rela dipenjara demi mempertahankan imannya.

I’m different, I know that – Desmond Doss
I fell in love with you because you weren’t like anybody else – Dorothy Schutte

Kekuatan iman pulalah yang membuatnya bertahan untuk mendengarkan petunjuk dari TUHAN saat dirinya tinggal sendiri di Hacksaw Ridge. ‘Gak gampang menjadi orang Kristen, kamu akan diuji oleh lingkungan dan terlebih dirimu sendiri dalam menjalankan perintah-NYA.

Berdoa
Ketika engkau angkat tangan, TUHAN turun tangan. Doss tak pernah lupa untuk berdoa. Ia selalu meminta petunjuk TUHAN sebelum melakukan sesuatu. Ia berdoa agar dituntun, jika TUHAN menginginkan dirinya ada di satu tempat pasti ada sesuatu yang TUHAN ingin dia lakukan.

What is it that YOU want of me? – Desmond Dos

Saat sendirian dan mulai merasa putus asa di Hacksaw Ridge, Doss bertanya pada TUHAN. Ketika kupingnya menangkap suara minta tolong, saat itu juga ia bergerak dan tiada henti bergerak memberikan pertolongan kepada prajurit yang terluka tanpa kenal lelah. Di antara lelah dan luka yang dialaminya, Doss terus saja berdoa, “Pease Lord, help me get one more.”

Berubah karena Kebenaran
Pada akhirnya Doss harus melanggar janjinya untuk tidak bekerja di hari Sabtu sesuai dengan yang diyakininya selama ini. Namun dia percaya, itu yang dikendaki TUHAN. Karena di Sabtu itu, Doss melakukan sesuatu yang luar biasa dalam hidup dan bagi kehidupan orang lain.

Janganlah kamu menjadi serupa  dengan dunia  ini, tetapi berubahlah  oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak ALLAH: apa yang baik, yang berkenan  kepada ALLAH dan yang sempurna. – [Roma 12:2]

Sejarah mencatat, Doss berhasil menyelamatkan 75 prajurit yang terluka dan ditinggalkan di punggung bukit ketika pasukan Amerika diperintahkan mundur dan berlarian turun saat diringsek tentara Jepang.

Desmond T. Doss menjadi paramedis militer selama 4 (empat) tahun, 1942-1946 sebelum mengundurkan diri karena masalah kesehatan.

Untuk keberaniannya di Okinawa, Doss menerima The Congressional Medal of Honor, penghargaan tertinggi negara yang disematkan sendiri oleh Presiden AS, Harry Truman pada 12 Oktober 1945. Doss meninggal pada 23 Maret 2006 di usia 87 tahun dan dimakamkan di Chattanooga National Cemetery, saleum

 

Olive Bendon

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

https://obendon.com/2016/11/17/meneladani-desmond-doss/

Penulis adalah Travel Blogger | Old Grave Lover |  Citizen Journalism | Volunteer for The War Graves Photographic Project

Foto: imdb.com

Benci Eric Clapton, Pengampunan dari Samarinda

Ya, benar. Saya benci Eric Clapton, bukan orangnya sih tapi lagunya. Dan bukan semua lagu juga, tapi–ini dia sumber masalahnya–lagu terbaik yang pernah dia ciptakan: “Tears in Heaven”.

Semenjak anakku si putri hadir pada 2007 lalu, semenjak itulah, sampai sekarang, 2016, saya tetap benci lagu ini. Masalahnya, lagu ini diputar di mana-mana. Dari pertama kali keluar tahun 1992, sampai saat ini, saya sering mendengar lagu ini diputar di mal-mal dan di kafe-kafe adem.

Jujur saja, ini lagu yang menakutkan buat saya. Lagu yang tidak ingin saya nyanyikan.

Eric Clapton membuat lagu ini–dibantu Will Jenning–untuk menyuarakan isi hatinya karena kesedihan mendalam. Lagu ini dipersembahkan untuk sang anak tercinta Conor Clapton yang meninggal.

Seperti tertulis di wikipedia, pada 20 Maret 1991 tepat jam 11 siang, Conor yang berusia 4 tahun meninggal karena terjatuh dari jendela lantai 53 di apartemen New York City.

“Tears in Heaven” merupakan lagu kontemplasi kesedihan Clapton yang mengurung diri selama 9 bulan. Clapton menuangkan kesedihannya dan sekaligus mewujudkan penerimaan lewat lagu ini.

Grammy Awards 1993 menobatkan “Tears in Heaven” dengan tiga penghargaan untuk lagu terbaik, rekaman terbaik, dan penyanyi pria terbaik.. Album Unplugged yang berisi lagu ini menjadi album terlaris Clapton sepanjang sejarah bermusiknya.

Would you know my name
If I saw you in heaven
Will it be the same
If I saw you in heaven
I must be strong, and carry on
Cause I know I don’t belong
Here in heaven

Lagu yang indah, namun saya tak ingin menyanyikannya, dan akhirnya memilih membencinya. Saya punya dua anak sekarang, dan seram rasanya menyanyikan lagu ini. Ada ketakutan saya, ini kok seperti membayangkan anak-anak saya kenapa-kenapa. Oh, tidak!

Ketika saya mendapat kabar, akhir pekan lalu, bahwa kawan dekat saya kehilangan buah hatinya yang masih bayi baru lahir, lagu ini pun tiba-tiba mengiang-ngiang di pikiran. Beberapa kawan menulis di wall Facebook sebagai tanda simpati, “kau sudah tenang di surga sana adik kekasih”.

Tak terbayangkan rasanya saat kawan saya mendengar lagu “Tears In Heaven”. “Apakah kau kenal papa saat kita ketemu di surga, nak?” Ahhhh saya benci.

Tak berapa lama bom molotov dilempar dan melukai anak-anak yang baru saja Sekolah Minggu dan sedang bermain di areal parkir di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur. Empat balita menjadi korban luka bakar.

Dan kisah sedih dialami Intan Olivia Banjarnahor, 2,5 tahun, yang harus pergi meninggalkan dunia ini, mengembuskan nafas terakhir. Tak terperikan rasa duka mendalam yang harus dihadapi oleh orang tua terkasih. “Apakah akan sama, ketika kita ketemu di surga nanti, nak?” Terngiang lagi…

Namun, ini seperti linear, seperti ada kesejajaran peristiwa baik yang menghiasi lagu Eric Clapton ini, maupun bom Samarinda.

Pada tahun 2003, 12 tahun setelah kematian anaknya, Eric Clapton memutuskan untuk tidak menyanyikan lagi lagu “Tears in Heaven”. Ia merasa telah bisa merelakan kepergian anaknya.

Dan kejutan muncul pada 2013, di Crossroads Guitar Festival 2013, di Amerika Serikat, Eric Clapton menyanyikan kembali lagu ini. Setelah 10 tahun! Eric melantunkan lagu ini dengan nada yang berbeda, slow reggae, tidak dengan ciri khas ngelangut seperti awal.

Seperti Clapton yang telah ikhlas, kabar pengampunan pun datang dari keluarga Trinity Hutahaean (4), salah satu korban ledakan bom molotov Samarinda. Lewat Roina Simanjuntak, kakak dari ibu Trinity, keluarga mengatakan bahwa “Kami tidak mengutuk, tetapi mengampuni yang jahat.”

Keluarga Trinity, bocah yang masih berjibaku dengan luka bakarnya, mengampuni pelaku terorisme, Juhanda alias Jo.

Saya seperti tersadar bahwa segala sesuatu ada prosesnya. Proses itu akan selalu berlanjut terus menuju jalannya, bagaimana kita memilih, apakah proses itu menuju yang terburuk atau menuju titik terbaik–titik di mana yang buruk terputus–kemudian berlanjut menjadi lebih baik.

Saya berharap tidak terdengar lagi dari keluarga korban bom molotov, berita duka. Saya rasa seminggu ini cukup lagu itu mengiang-ngiang di pikiran saya.

Saya berdoa: Trinity kuatlah. Tuhan pulihkan adik kekasih ini.

 

Foto: wikimedia

Apakah Garansi Hidup Anda?

Baru saja saya mengembalikan bohlam yang mati tiba-tiba yang saya beli bulan Maret lalu. Bohlam ini bergaransi 5 tahun. Tapi baru pakai 8 bulan mati. Toko bohlam langsung mengganti dengan bohlam yang baru sesuai dengan garansinya. Saya tidak punya receipt karena sudah hilang, tapi data saya ada di file mereka. Jadi hanya dengan menyebut nomor telepon saya, mereka langsung bisa tahu dari komputernya kapan saya membeli bohlam itu. Kini lampu belajar saya terang kembali.

Hidup kita seperti bohlam itu, setelah diselamatkan kita sepatutnya hidup sebagai anak-anak terang.

“Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, dan ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan. Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu. ” Ef. 5:8-11.

Anugerah Kristus membaharui hidup kita sehingga kerinduan dan perjuangan kita adalah hidup dalam terang.

Namun selama kita masih hidup bersama daging ini dan di dunia ini kita kadang bahkan sering tidak menunjukkan kehidupan sebagai anak-anak terang. Kita tak sanggup untuk terus-menerus unjuk hidup sebagai anak terang.

Tanpa garansi Kristus yang telah menebus kita secara tuntas, celakalah hidup kita.

Tetapi garansi dari Kristus adalah hidup yang kekal.

Itulah janji yang kita pegang. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Yoh. 3:16.

Keselamatan kita dianugerahi dan digaransi oleh Kristus dengan jaminan hidup kekal. Nama kita ada di file Kristus.

Dalam anugrah Tuhan, kiranya kita dimampukan untuk senantiasa hidup sebagai anak-anak terang.

The Call

(Merenungkan Kisah Para Rasul 10)

 

Cerita di dalam Kisah Para Rasul 10 adalah cerita yang sangat penting bagi sejarah gereja. Cerita ini menegaskan panggilan gereja untuk menjadi terang bagi dunia, membawa kabar baik kasih karunia Allah kepada segala bangsa.

Dikisahkan tentang Kornelius, seorang perwira (centurion) Romawi yang mengepalai pasukan yang disebut resimen Italia. Kornelius memegang jabatan yang cukup tinggi atas sebuah resimen yang elit di dalam militer Romawi, namun ternyata dia adalah seorang yang takut akan Allah. Dia memberi banyak sedekah untuk orang Yahudi. Menurut hukum taurat seorang asing yang bukan Yahudi tidak layak di hadapan Allah. Oleh karena itu, sedekah ataupun kesalehannya tidak akan berarti. Akan tetapi, berbeda dengan Kornelius. Allah menerima apa yang Kornelius lakukan dan mengutus malaikat-Nya untuk memberi konfirmasi, serta menyuruhnya untuk memanggil Petrus datang ke Kaisaria, kota tempat ia tinggal.

Petrus sedang berada di Yope. Di siang hari ketika ia merasa lapar dan menunggu makanan disiapkan, Allah memberikan sebuah penglihatan kepadanya, “Tampak olehnya langit terbuka dan turunlah suatu benda berbentuk kain lebar yang bergantung pada keempat sudutnya, yang diturunkan ke tanah. Di dalamnya terdapat pelbagai jenis binatang berkaki empat, binatang menjalar dan burung. Kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata: “Bangunlah, hai Petrus, sembelihlah dan makanlah!” Petrus yang terkejut dan menolak karena semua binatang yang ditawarkan itu adalah haram menurut hukum taurat ditegur sampai tiga kali oleh Allah, “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.

Kasih karunia Allah adalah bagi semua manusia, tanpa memandang suku bangsa, atau apapun juga. Petrus yang diutus kepada Kornelius menyambut kebenaran yang baru ini, dan semua orang Yahudi yang bersamanya tercengang-cengang, karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga.

Gereja adalah pembawa berita kabar baik kepada segala bangsa. Oleh karena itu, gereja harus menjadi tempat di mana semua orang, siapapun dia, entah dari latar belakang seperti apapun, dapat datang dan bertemu dengan Allah yang memberikan kasih karunia. Dunia yang berdosa membuat begitu banyak pembedaan di antara manusia. Yang berbeda menjadi yang ditolak. Akan tetapi, tidak demikian dengan Gereja. Gereja adalah tempat di mana yang kaya bisa bersekutu dengan yang miskin. Yang terpelajar dengan yang tidak terpelajar. Hitam atau putih, rambut lurus atau rambut keriting, mata sipit atau mata belo, semua bisa bersekutu di dalam kasih karunia Allah.

Gereja harus menjadi teladan bagi dunia tentang kasih Allah, dan kasih Allah adalah bagi semua orang tanpa memandang bulu. Gereja bukan tempat penghakiman dan pembuangan orang yang berdosa, sebaliknya harus menjadi tempat pelarian dan pemulihan. Petrus menyadari: Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir. (10:28). Biarlah itu juga menjadi kesadaran Gereja, kesadaran kita, dan itu adalah panggilan kita.

Ular Kobra, Irma Bule, dan Cerita Ayah

 

Ular hitam itu menatap lurus ke arahku. Mulutnya membuka menutup seperti sedang bicara. Dia memang sudah tidak bisa bergerak karena terjepit di antara balok kayu dan tembok.

Siapa yang ketakutan? Aku pikir kami berdua sama ketakutan. Dia ingin segera kabur ke liangnya, sedangkan aku, jujur saja, aku takut ular. (Padahal dulu pernah minum darah ular kobra saat menulis kuliner ekstrem).

Sekitar 20 menit sebelumnya, kedua anjingku memergoki dia. Aku berusaha mengejarnya dan dengan gesitnya dia menghindar dan masuk ke lubangnya. Tapi tak lama dia keluar lagi dan kali ini aku memutuskan mencegatnya.

Dia ini ular keempat yang muncul di rumah. Tiga yang pertama jenis ular (pemakan) kodok dan ular (pemakan) tikus yang menurut Google tidak berbisa. Dua mati dan satu lagi yang muncul dua kali, lolos.

Yang terakhir ini agak berbeda karena hitam legam berkilat. Aku sempat mencari jenisnya di google tapi tak ada ular kodok dan ular tikus berwarna seperti ini. Aku semakin cemas karena saat kucegat dia sempat melebarkan lehernya. Saat itu juga kuputuskan yang satu ini harus mati.

Bukan hari yang baik bertemu ular apalagi yang diduga kobra. Sebab pada hari itu, pagi harinya, ada berita pedangdut Irma Bule tewas dipatuk ular kobra. Buktinya saat saya cerita soal kejadian ini mulai dari pengurus RT sampai teman di FB komentarnya itu mungkin ular yang sama yang mematuk Irma.

***

Sewaktu SMA, ayah mengajakku ke sebuah waduk di kampung halamannya. Dia bercerita di sana banyak daerah berbatu yang menjadi rumah banyak ular. Mereka senang bersembunyi di sela-sela bebatuan.

Pemancing atau mereka yang sering ke sekitar waduk sudah terbiasa bertemu ular. Mereka punya cara menghadapi ular berbisa, terutama kobra.

Memakai tongkat yang ujungnya diarahkan ke kepala ular untuk memancingnya agar menyerang. Ular akan mematuk kayu itu beberapa kali dan setelahnya, kata ayahku, dia akan berhenti menyerang seolah kehabisan tenaga, menutup lehernya dan bergerak melata perlahan.

Ini momen yang paling tepat untuk membunuh ular itu dengan meremukkan kepalanya. (Kalau mau membunuhnya ya, kalau mau memelihara ya ingat aja Irma Bule). Intinya: menjaga jarak dan menyerang setelah dia kelelahan.

Teringat cerita ini, aku memakai balok kayu dan menjaga jarak betul dengan si ular. Beberapa kali ular itu menyerang ujung balok sambil mendesis keras. Setelahnya dia berhenti dan menatapku.

Jujur saat itu sempat ragu membunuhnya dan barangkali para pecinta ular akan memaki. Tapi aku punya satu bayi dan satu balita di rumah dan tak mau ambil risiko. Maka dalam laga satu lawan satu itu, kepala ular ini coba kuremukkan.

Saya bertarung dengan ular itu sambil saya berdoa keras-keras, karena saya sudah pingsan kalau tidak begitu. Bayangkan kalau saya pingsan dan ular itu mendekat lalu… “Ihhh gemez deh tak cium ya!”

Sebuah upaya yang makan waktu karena hewan satu ini tak mau mati dengan mudah. Terus berkelit sampai akhirnya mati. Hingga sejam setelah ular itu mati, tanganku masih gemetaran.

Ada yang bertanya, bunuhnya pake apa? Pake rasa takut ditambah rahasia yang diajarkan ayah.

Sejarah perjumpaan manusia dengan ular memang biasanya berujung dengan kematian salah satunya, terutama karena ketakutan. Karena manusianya takut, lalu membunuh ular meski kadang dia bukan jenis berbahaya, atau karena ularnya takut dibunuh lalu menggigit manusianya.

***

Kejadian kontra ular itu mengajarkan aku paling tidak tiga hal:

Pertama, lalu belajar lagi soal ular. Ada satu gambar yang beredar di dunia maya tentang cara membedakan ular berbisa dan yang tidak berbisa.

Dari gambar ini aku baru tahu, ular yang bertarung dengan saya itu bukan ular berbisa. Mungkin aku akan bertindak berbeda kalau tahu itu, mungkin.

Kedua, berbagi cerita pengalaman hidup dengan anak bukan pekerjaan sia-sia. Seperti cerita ayahku itu, mungkin suatu hari ceritaku akan menjadi berguna bagi anakku.

Ketiga, sebisa mungkin jangan joget di panggung bersama ular kobra. Titik.

Foto: Sipa/Pixabay

Keadilan itu Bersifat Impersonal dan Imparsial

Satu gereja di Samarinda dibom! Korban jatuh. Apakah saya ikut ‘terluka’? Tentu saja. Namun, ‘keterlukaan’ saya pun harus kukendalikan sekuatnya dgn tenang agar tak jadi memantik api kebencian baru. Caranya, cukup saya berdoa, juga istri-anak. Tak perlu mengumbar ke dunia maya sebab tak ada kuasa saya mengubah apa-apa, walau sejuta status, meme, kusebarkan di mana-mana.

Tetapi, diam-diam saya berdoa. Doa yang sama pun kupanjatkan bagi pemilik semesta untuk mereka yang tertindas, terluka, terbunuh, karena keyakinan mereka, juga akibat kekejaman dan kerakusan manusia.

Bahkan orang-orang yang tak seiman dengan saya pun kadang kubawa dalam doa bila sontak teringat. Para korban perang di Suriah, Irak, Libya, Yaman, dan lain-lain, juga para pengungsi yang mempertaruhkan nyawa menuju negara pelarian–tak pandang apakah sekeyakinan atau tidak dengan saya–turut saya doakan.

Saya sering membayangkan penderitaan para wanita, anak-anak, dan perjuangan para ayah untuk menyelamatkan istri-anak mereka; mengganggu tidur, mengoyak unsur terdalam dalam diri saya.

Tuhan yang saya imani, mengajarkan saya mencintai manusia tanpa memandang suku-bangsa dan keyakinan. Dari situlah terbangun kesadaran memperlakukan tiap insan sama berharga.

Pengetahuan, bacaan, pendidikan, juga pergaulan, yang saya telan dan lakukan sekian lama, berperan pula mengajari saya bahwa keadilan dan kemanusiaan itu besifat impersonal dan imparsial. Tak membeda-bedakan, tak memisah-misah, dan barangsiapa tak mampu menerapkan, sesungguhnya hanya mengutamakan diri dan kaumnya; suatu pemihakan yang ekslusif, sementara persoalan manusia bersifat universal dan kebajikan bersifat terbuka.

Sungguh tak ada yang istimewa bila seseorang hanya membela yang sesuku, seiman, sealiran dng dirinya, karena yang ditonjolkan hanya kepentingan dan naluri purba.

Maka, meski tak seiman-sekeyakinan dan tak harus “berteriak” di dunia maya, saya pun bersimpati pada orang-orang yang terusir karena kepercayaan mereka, yang dianiaya atau dibunuh karena kekukuhan pada yang diyakini, pula mereka yang dihukum karena tak percaya adanya Tuhan.

Membebaskan pikiran dari pemihakan karena alasan sesuku, seiman, atau dorongan naluri dasar, memang bukan perkara gampang. Butuh kontempelasi panjang dan mendalam selain kesediaan memahami problematiknya kehidupan–termasuk dalam berkeyakinan. Hidup dan pergumulan manusia tak sesederhana yang terbangun dalam pikiran.

Agaknya, di situlah perbedaan kita yang paling mendasar! Namun, saya akan tetap berpihak pada humanisme dan kedamaian, semoga yang sependapat denganku semakin banyak dan akal sehat, nurani, harus diusahakan bersama jadi pemenang, mengalahkan kepicikan dan kebiadaban.

Foto: Johnhain/Pixabay

Mengapa Tertipu Ajaran Sesat?

Lebih dari sepuluh tahun lalu saya ditelepon oleh sahabat istri saya, yang juga jadi sahabat saya tentunya, untuk mengajak saya bergabung dengan dia di Pondok Nabi di Bandung bersama kelompok pimpinan M. Sibuea.
Dia mengatakan bahwa kiamat akan terjadi pada 10 November. Spontan saya jawab; “Lho? Yang saya tahu 10 November itu hari Pahlawan,” karena saya kira dia bercanda. Eeehhh ternyata serius. Dan ironisnya lagi dia sudah tinggal di situ bersama suami dan anak-anaknya. Rumah dan mobilnya sudah dijual, anak-anak keluar dari sekolah dan mereka pindah ke Pondok Nabi untuk menyambut hari kiamat itu.
Waduh… Saya dan istri sungguh kaget luar biasa. Mereka adalah sahabat sekaligus pernah bertetangga dengan istri saya. Penolakan saya membuat dia tak menelepon lagi. Saya coba dialog tapi tak direspon. Ternyata tidak sedikit mereka yang terseret oleh pengajaran M. Sibuea. Kisah akhir dari kelompok ini bisa kita lihat di google. Hal semacam ini juga pernah terjadi di Amerika.
Betapa mudah orang tertipu ajaran sesat dan tidak sehat. Dan selalu ada penyesat yang PAKAI ayat-ayat Kitab Suci, dan selalu ada pula pengikutnya yang tersesat dalam kemurnian dan kepolosannya, dan berani berkorban pula, baik harta bahkan nyawa.
Kepiawaian penyesat dan keluguan pengikut seperti api ketemu bensin. Nyamber dan membakar. Faktor utama terjadinya hal ini saya pikir bertolak dari pemberhalaan kitab suci. Kitab suci dan pengajarnya disetarakan dengan Tuhan. Mengapa?
Jika seseorang tidak menemukan Tuhan yang sesungguhnya, maka dia akan mempertuhankan sesuatu.
Betapa pentingnya kita waspada senantiasa sebagaimana nasehat Rasul Petrus kepada orang Kristen di perantauan. Karena itu waspadalah, supaya kamu jangan terseret ke dalam kesesatan orang-orang yang tak mengenal hukum, dan jangan kehilangan peganganmu yang teguh. Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juru selamat kita, Yesus Kristus. Bagi-Nya kemuliaan, sekarang dan sampai selama-lamanya.” 2Pet. 3:17-18.
Alternatif dari pertumbuhan adalah kemunduran. Jika kita tidak lagi bertumbuh berarti berada dalam situasi kemunduran.
Apa yang dapat membuat kita bertumbuh? Tidak lain adalah firman Tuhan.
Paulus berpesan kepada Timotius, “Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu.  Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” 2Tim 3: 14-17.
 Foto: Pixabay

 

Mengapa Kuatir?

Suatu hari istri saya menelpon dari pompa bensin.

Istri: Pa, bensin mobil sudah hampir habis, saya mau isi, tapi kok pompa bensinnya nggka mau ngisi, langsung stop otomatis.

Saya: Kamu yakin sudah mau habis, rasanya saya baru isi penuh. Pastikan jangan salah lihat gaugenya.

Istri: Iya habis.

Saya: Minta tolong saja ke counter.

Dan setelah petugas counter keluar dan menolong dan melihat gaugenya, ternyata bensinnya memang sedang full sesuai gaugenya. Istriku salah melihat gaugenya.

Seringkali kekuatiran kita lebih disebabkan oleh kesalahan kita melihat ke dalam hidup kita sendiri. Kita tidak melihat, atau, salah melihat apa yang telah Tuhan sediakan bagi kita.

Yesus bersabda;

Pandanglah burung di udara...

Lihatlah bunga bakung di padang...’

Pandanglah. Lihatlah.

Jika matamu terang, maka teranglah seluruh tubuh.

*-*

Penulis:

Daltur Rendakasiang. Alumnus FMIPA UI dan SAAT Malang. Pendeta Gereja Lutheran Indonesia Immanuel, Newington, New Hampshire, USA.

-*-

Foto: Pixabay